TEKNOLOGI
PENEPUNGAN JAGUNG SECARA TRADISIONAL
(Metode Kering) DAN MODIFIKASI ENZIMATIS
LAPORAN SMALL PROJECT
Oleh Kelompok
A3 :
1. Anita Ray S. (111710101001)
2. Fikri Arsyl R. (111710101025)
3. Fifi Dewi
Kadita (111710101045)
4. Rika Damayanti
(111710101061)
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penepungan (milling) adalah cara
pengolahan biji-bijian atau daging buah kering yang dihaluskan sehingga menjadi
tepung atau bubuk. Misalnya tepung beras,
tepung tapioka, tepung maizena, tepung terigu, sagu, dan beras ketan. Dengan
adanya pemrosesan penepungan maka butiran-butiran tepung yang sangat halus,
permukaan bidangnya menjadi sangat lebar. Pada dasarnya penepungan itu sendiri juga menyebabkan bahan menjadi
bersifat higroskopis, yaitu bahan halus mudah sekali menjadi lembab karena
sangat mudah menyerap uap air. Namun keuntungan dari penepungan yang paling
tampak adalah aroma dan cita rasa bahan yang ditepungkan menjadi sangat mencolok. Dari situlah
pengaruh positif yang ditimbulkan oleh penepungan tersebut.
Pembuatan tepung atau bubuk bertujuan
untuk mencegah timbulnya kerusakan bahan yang bersifat fisik maupun chemise. Berkurangnya kualitas adalah
satu-satunya bentuk kerusakan yang harus dihindari, namun dalam kenyataannya
dua bentuk kerusakan ini saling berkait dan sering mempengaruhi sehingga akan
membentuk kerusakan tepung yang lebih serius. Seperti biji-bijian, tepung dan
bubuk berada dalam keadaan telah kering sempurna, sesudah digiling dengan mesin
penepung (milling). Tanda bentuk bahan telah kering yaitu antara butir tepung
atau bubuk halus satu dengan yang lainnya tidak saling lengkap (menempel),
tetapi saling lepas. Tepung yang masih basah biasanya butiran halusnya saling
berlekatan sehingga
membentuk agregat (gumpalan) yang lebih besar dan mengelompok (Purwanto, 1995).
Pembuatan
tepung jagung yang akan dilakukan yaitu dengan melakukan perbandingan cara
tradisional (metode kering) dan modifikasi enzimatis. Metode kering sudah biasa
dilakukan di masyarakat namun dengan dilakukan modifikasi enzimatis maka akan
membuat kwalitas tepung menjadi lebih baik dan memiliki tekstur yang lebih
halus.
1.2 Batasan
Masalah
Adapun batasan masalah dalam small project ini adalah
menganalisa karakteristik tepung jagung dengan cara tradisional (metode kering)
dan modifikasi enzimatis meliputi kecerahan warna, viskositas, densitas,
rendeman, suhu glatinisasi dan pH
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk
mengetahui perbedaan karakteristik tepung jagung dengan menggunakan teknologi
penepungan cara tradisional (kering) dan modifikasi enzimatis.
1.3 Manfaat
Dapat mengetahui perubahan yang terjadi pada tepung
jagung setelah dimodifikasi enzimatis terutama karakteristik tepung jagung yang
meliputi rendeman, warna (kecerahan), viskositas, densitas, suhu glatinitasi
dan pH
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jagung
Jagung
merupakan bahan pangan yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia, dan
merupakan pangan tradisional atau makanan pokok di beberapa daerah. Kandungan
gizi jagung tidak kalah dengan beras atau terigu, bahkan jagung memiliki
keunggulan karena merupakan pangan fungsional dengan kandungan serat pangan, unsur
Fe dan beta-karoten (pro vitamin A) yang tinggi (Suarni, 2001). Selain itu,
jagung merupakan pangan yang tergolong indeks glisemik sedang (Loehr and
Schwartz, 2000), dan ketiadaan gluten menjadikan jagung cocok dikonsumsi oleh
penderita gluten dan autis (Nirmala, 2008).
Jagung dalam sistematika
tanaman termasuk dalam golongan Spermatophyta, kelas Monocotyledon, ordo
Graminae, familia Graminaceae, genus Zea. Nama latin
jagung adalah Zea mays L. Jagung merupakan tanaman penting kedua setelah padi dan
hampir terdapat di seluruh kepulauan di Indonesia. Tanaman jagung relatif mudah
dibudidayakan dan dapat tumbuh di semua jenis tanah kecuali tanah liat dan
pasir. Berdasarkan warna bijinya, jagung dibedakan menjadi dua macam yaitu jagung
kuning dan jagung putih. Kedua jagung ini mempunyai nilai gizi yang relatif sama. Berdasarkan bentuk bijinya
(kernel) jagung dibedakan
menjadi enam jenis yaitu:
1. Flour
corn atau soft corn yaitu jagung yang hampir seluruh endospermanya berisi pati yang lunak dan
mudah dibuat tepung.
2. Flint
corn yaitu jagung yang mempunyai biji dengan warna bersinar, tebal dan keras (horny starch).
Zat tepung yang lunak sedikit dan letaknya di tengah. Jagung ini banyak
digunakan untuk pakan ternak
3. Pop
corn yaitu jagung yang memiliki kernel kecil dan keras seperti jenis flint dengan kandungan pati yang
lebih sedikit.
4. Sweet
corn yaitu jagung yang mengandung sedikit pati dengan endosperma berwarna bening, mempunyai
kandungan gula yang tinggi sehingga terasa manis.
5. Pod
corn yaitu jagung hias dengan kernel tertutup.
6. Dent
corn yaitu jagung yang bijinya seperti gigi kuda terjadi akibat pengerutan lapisan bertepung
saat biji mengering.
Jagung
yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan semi mutiara (semiflint). Jenis jagung semiflint (semi mutiara) lebih mudah dibuat tepung dibandingkan
tepung mutiara. Hal ini disebabkan
jagung semi mutiara mengandung endosperma lunak yang lebih 7 banyak dibandingkan endosperma
kerasnya. Endosperma keras terdiri dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun
rapat, sedangkan endosperma lunak susunan selselnya tidak serapat bagian keras.
Jagung NK 33
merupakan jagung hibrida yang memiliki
bentuk biji semi mutiara. Potensi hasil
jagung NK 33 sebesar 12 ton per hektar
jagung pipil kering. Warna biji oranye kuning.
Biji
jagung dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu kulit (pericarp), endosperma, lembaga (germ),
dan tudung pangkal (tip cap). Pericarp
merupakan
lapisan pembungkus biji jagung yang tersusun dari jaringan yang tebal. Ketebalan
pericarp bervariasi dari 62-160 μm tergantung genotipnya. Endosperma merupakan bagian
terbesar dari biji jagung sekitar 82- 84% dari berat biji. Endosperma juga
mengandung sekitar 86-89% pati sebagai cadangan energi. Lapisan terluar dari
endosperma adalah aleuron yang menyelubungi
bagian starchy endosperma dan lembaga. Bagian starchy endosperma terdiri dari endosperma keras
(horny endosperma) dan endosperma lunak (floury endosperm).
Bagian endosperma keras mengandung matriks protein yang lebih tebal dan lebih
kuat dibandingkan endosperma lunak. Sedangkan endosperma lunak mengandung
pati lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat seperti pada bagian
yang keras. Jagung normal mengandung 10-12% lembaga dari berat biji.
Lembaga tersusun dari dua bagian yaitu embrio dan skutelum. Adapun bagian
terkecil pada biji jagung adalah tip cap atau tudung pangkal yang merupakan bekas
tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung.
2.2. Proses
Penepungan Jagung
2.1.1.
Proses Penepungan Jagung secara Kering
Menurut
Asmarajati (1999), penepungan adalah suatu proses penghancuran bahan pangan yang didahului
suatu proses pengeringan menjadi butiran-butiran yang sangat halus, kering dan
tahan lama, serta fleksibel dalam penggunaannya. Penggilingan biji jagung ke
dalam bentuk tepung merupakan suatu proses memisahkan kulit, endosperma,
lembaga dan tip cap. Pengolahan biji jagung menjadi tepung telah lama
dikenal masyarakat, namun diperlukan sentuhan teknologi untuk meningkatkan
mutu tepung jagung yang dihasilkan. Menurut SNI 01-3727-1993, tepung jagung
adalah tepung yang diperoleh dengan
cara menggiling biji jagung (Zea mays LINN.) yang bersih dan baik. Pelepasan kulit luar biji yang cukup
sulit dapat diatasi dengan menggunakan mesin penyosoh jagung. Proses
pembuatan tepung jagung adalah biji jagung disortasi kemudian disosoh.
Proses sortasi untuk menggolongkan bahan atas tingkat kebagusan dan keseragaman
serta untuk memisahkan bahan dari benda asing. Sedang penyosohan bertujuan
untuk melepaskan kulit, germ dan tip cap sehingga yang tersisa hanya
endosperma saja. Kulit memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga harus
dipisahkan karena dapat menyebabkan tekstur tepung menjadi kasar dan tidak
sesuai SNI 01-3727-1993 sedangkan germ merupakan bagian yang paling
tinggi kandungan lemaknya sehingga perlu dipisahkan karena dapat menyebabkan
tengik. Tip cap juga perlu dipisahkan karena menyebabkan tepung menjadi kasar dan dan
terdapat butir-butir hitam pada tepung. Jagung sosoh lalu dibuat tepung dengan
melakukan penggilingan. Penggilingan
merupakan proses pengecilan ukuran dengan gaya mekanis menjadi beberapa fraksi ukuran yang
lebih kecil. Alat penggilingan yang digunakan untuk membuat tepung dari serealia
terdiri dari alat penghancur dan penggilas (grinder dan ultra fine grinder).
Hasil penggilingan kemudian diayak untuk memisahkan bagian kulit dan
serat-seratnya. Hasil gilingan diayak dengan pengayak bertingkat untuk mendapat
berbagai tingkat hasil giling (Rosmisari, 2006).
2.1.2. Penepungan Jagung secara
Enzimatis
Struktur
kimia tepung dapat diperbaiki sifat fisik maupun fungsionalnya dengan cara memperpendek rantai
amilosa maupun amilopektinnya dengan cara enzimatis menggunakan α-amilase. Enzim
tersebut terdapat pada tanaman, mamalia
dan mikroba. Kacang
hijau dalam bentuk kecambah mengandung enzim α-amilase. Pada umumnya perkecambahan
toge berlangsung selama lima hari, aktivitas enzim α-amilase dapat ditentukan
dengan rnengukur hasil degradasi pati yang biasanya diukur dengan penurunan
kadar pati yang larut atau dari kadar maltosa yang dihasilkan. Enzim α-arnilase
dapat memecah
pati secara acak dari tengah atau dari bagian dalam molekul, oleh karena itu disebut endoamilase (Winarno,1983). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perubahan sifat fisikokimia tepung jagung pada
daya serap air (DSA), daya serap minyak (DSM) daya emulsi, dan tekstur tepung termodifikasi
lebih halus. Kandungan protein tepung setelah modifikasi enzimatis mengalami kenaikan pada
penambahan kecambah 20%; protein varietas LokaI 7,24% rnenjadi 12,98%, Maros
Sintetik 7,29% menjadi 12,12%, dan Srikandi Putih dari 8,49% menjadi 14,05%.
Beberapa parameter
seperti perubahan struktur kimia, bentuk dan ukuran granula pati, sifat
amifograf dan vitamin
E akan diamati pada penelitian lanjutan. Diharapkan tepung jagung termodifikasi
tersebut berniiai tinggi dan dapat
digunakan pada industri makanan.
2.3. Sifat Kimia, Fisik dan Fungsional Tepung
1.
Sifat kimia
Sifat
kimia pada bahan pangan menunjukkan perubahan komposisi kimia yang terkandung setelah
mengalami proses pengolahan maupun penyimpanan (Wikipedia, 2009). Komposisi
kimia jagung sangat bervariasi tergantung dari varietas, cara menanam, iklim
dan tingkat kematangan (Jugenheimer,1976).
Sifat
kimia tepung meliputi kadar
air, abu, protein total, lemak, pati, dan amilosa. Pengujian karakteristik kimia juga bertujuan untuk
memperoleh tepung sesuai standar mutu yang teregulasi. Mutu tepung jagung
berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3727 (1993) disajikan pada
Tabel 2. Khusus untuk kadar pati jumlah minimum menurut SII (Standar Industri
Indonesia) adalah 75 %.
2.
Sifat fisik
Sifat
fisik merupakan atribut fisik yang tampak dan dapat diukur dari bahan pangan (Wikipedia, 2009).
Sifat fisik tepung meliputi rendemen, starch damage, densitas kamba, derajat putih,
dan nilai pH.
a.
Rendemen
Rendemen
merupakan perbandingan berat produk yang diperoleh terhadap berat bahan baku yang
digunakan. Perhitungan rendemen dilakukan
berdasarkan berat kering bahan. Rendemen tepung menyatakan nilai efisiensi dari proses
pengolahan sehingga dapat diketahui jumlah tepung yang dihasilkan dari bahan
dasar awalnya.
b. Starch
Damage
Starch
damage terjadi
terutama diakibatkan oleh gaya mekanis yang diperoleh dalam proses
penepungan. Selama proses penepungan, 5-12 % pati mengalami kerusakan. Granula
pati yang lebih besar biasanya mengalami kerusakan yang lebih besar. Terdapat
dua jenis starch damage, yakni cracks dan breaks (Dubois 1949
dalam Dubat, 2004). Kedua tipe jenis starch damage dapat dilihat sebagai
berikut.
Starch
damage dapat
berpengaruh positif maupun negatif. Adanya starch damage menyebabkan daya serap air
menjadi lebih tinggi menjadi 2-4 kali
berat semula. Pati dikatakan 100% mengalami kerusakan bila menyerap air sebanyak jumlah pati pada
suhu 30°C. Sedangkan pati alami (native starch) hanya mampu menyerap 0,4
kali berat mula-mula. Hal ini penting secara ekonomi, karena air merupakan
salah satu ingridien yang murah untuk meningkatkan rendemen pada produk
seperti roti dan mi basah (Dubat, 2004). Selain itu starch damage dapat
meningkatkan mobilitas adonan (lembut dan fleksibel) dan kohesivitas serta
meningkatkan kapasitas menahan gas pada pembuatan roti. Disisi lain, daya
serap yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
adonan menjadi lengket sehingga sulit untuk dicetak. Selain itu, starch
damage juga memungkinkan beberapa enzim spesifik (salah satunya adalah
β-amilase) lebih leluasa bekerja dan meningkatkan nilai ketercernaan pati. Starch
damage menunjukkan beberapa sifat fisik yang mirip dengan pati
pregelatinisasi.
c.
Densitas kamba
Densitas
kamba menunjukkan perbandingan antara berat suatu bahan terhadap volumenya. Densitas
kamba merupakan sifat fisik bahan pangan khusus biji-bijian atau
tepung-tepungan yang penting terutama dalam pengemasan dan penyimpanan.
Bahan dengan densitas kamba yang kecil akan membutuhkan tempat yang lebih
luas dibandingkan dengan bahan dengan
densitas kamba yang besar untuk berat yang sama sehingga tidak efisien dari segi tempat
penyimpanan dan kemasan (Ade et al., 2009).
d.
Derajat putih (L)
Pengukuran
warna secara objektif penting dilakukan karena pada produk pangan warna merupakan
daya tarik utama sebelum konsumen mengenal
dan menyukai sifat-sifat lainnya. Warna tepung dapat diamati secara kuantitatif dengan
metode Hunter menghasilkan tiga nilai pengukuran yaitu L, a dan b. Nilai L
menunjukkan tingkat kecerahan sampel. Semakin cerah sampel yang diukur maka
nilai L mendekati 100. Sebaliknya semakin kusam (gelap), maka nilai L mendekati
0. Nilai a merupakan pengukuran warna
kromatik campuran merah-hijau. Nilai b merupakan pengukuran warna kromatik campuran
kuning-biru (Hutching, 1999). Warna
tepung yang diperdagangkan bervariasi mulai dari putih sampai putih keabu-abuan atau agak
coklat dan kuning. Menurut syarat mutu SNI
tidak
ada kriteria derajat putih yang yang diharuskan, warna sesuai bahan baku jagung
(putih, kuning) dan secara umum sesuai spesifikasi bahan aslinya. Umumnya
konsumen lebih menyukai tepung dengan derajat putih (L) yang tinggi.
e.
Nilai pH
Nilai
pH berpengaruh terhadap pembentukan gel yang optimum. Pembentukan gel pati yang
optimum terjadi pada pH 4-7 (Winarno, 2008). Faktor utama pembentukan gel adalah
gelatinisasi pati bukan
dari pembentukan gluten seperti yang terdapat dalam tepung terigu.
f.
SEM (Scanning Electron Microscope).
Bentuk
ganula pati merupakan ciri khas masing-masing pati. Pati jagung mempunyai ukuran yang
cukup besar dan tidak homogen yaitu untuk viskositas yang cenderung tinggi dan
tetap dipertahankan atau meningkat selama
pemanasan (Tam et al., 2004).
3.
Sifat fungsional
Sifat
fungsional merupakan sifat fisikokimia yang mempengaruhi perilaku komponen tersebut dalam makanan
selama persiapan, pengolahan, penyimpanan, dan konsumsi (Metirukmi,
1992). Sifat ini meliputi :
a.
Kapasitas penyerapan air (KPA)
Kapasitas
penyerapan air digunakan untuk mengukur besarnya kemampuan tepung untuk
menyerap air dan ditentukan dengan cara sentrifugasi. Kapasitas penyerapan air
berkaitan dengan komposisi granula dan
sifat fisik pati setelah ditambahkan dengan sejumlah air. Kapasitas penyerapan air
menentukan jumlah air yang tersedia untuk proses gelatinisasi pati selama
pemasakan. Bila jumlah air kurang maka pembentukan gel tidak dapat mencapai
kondisi optimum. Dengan demikian kemampuan
hidrasi yang rendah kurang cocok untuk produk olahan yang membutuhkan tingkat
gelatinisasi yang tinggi. Kapasitas penyerapan air juga mempengaruhi kemudahan dalam
menghomogenkan adonan tepung ketika dicampurkan dengan air. Tingkat
homogenitas adonan akan berpengaruh terhadap kualitas hasil pengukusan. Adonan
yang homogen, setelah dikukus akan mengalami gelatinisasi yang merata yang
ditandai tidak terdapatnya spot-spot putih atau kuning pucat pada adonan tepung
yang telah dikukus.(Tam et al., 2004).
b. Swelling volume dan kelarutan
Kelarutan
merupakan berat tepung terlarut dan dapat diukur dengan cara mengeringkan dan
menimbang sejumlah supernatan. Swelling volume merupakan kenaikan volume dan
berat maksimum pati selama mengalami pengembangan di dalam air (Balagopalan
et al., 1988 dalam Baah, 2009).
c.
Kapasitas emulsi
Kapasitas
emulsi merupakan kemampuan larutan atau suspensi untuk mengemulsikan lemak. Adanya
emulsifier yang terkandung pada tepung dapat berpengaruh pada tektur produk yang
dihasilkan. Emulsifier berfungsi mengontrol
kohesivitas, kelengketan dan
kekentalan tepung.
2.4.
Tauge/kecambah kacang hijau (phaseolus
radiatus)
Kecambah
adalah tumbuhan kecil yang baru tumbuh dari biji kacang-kacangan yang
disemaikan atau melalui perkecambahan. Perkecambahan merupakan suatu proses
keluarnya bakal tanaman (tunas) dari lembaga. Proses ini disertai dengan
mobilisasi cadangan makanan dari jaringan penyimpanan atau keping biji ke
bagian vegetative (sumber pertumbuhan embrio atau lembaga). Germinasi selama 2
hari dapat menghasilkan kecambah dengan panjang mencapai 4 cm, dan dalam 3-5 hari
dapat mencapai 5-7 cm (Simanjuntak, 2007). Kecambah yang dibuat dari biji
kacang hijau disebut tauge (Astawan, 2005).
Taksonomi kacang hijau, yaitu:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Subkelas : Rosidae
Bangsa : Rosales
Suku : Papilionaceae
Marga : Phaseolus
Spesies : Phaseolus radiatus Linn
(Plantamor, 2008).
Tanaman kacang hijau merupakan tanaman yang tumbuh
hampir di seluruh tempat di Indonesia, baik di dataran rendah hingga daerah
dengan ketinggian 500 m di atas permukaan laut. Dalam perdagangan kacang hijau
di Indonesia, terdapat dua macam berdasarkan mutunya, yaitu kacang hijau biji
besar dan biji kecil. Kacang hijau biji besar digunakan untuk bubur dan tepung,
sedangkan yang berbiji kecil digunakan untuk pembuatan tauge (Astawan, 2005).
2.5.
KANDUNGAN GIZI KACANG HIJAU
Kacang hijau
merupakan sumber nutrisi yang bermanfaat. Status kandungan gizi kacang hijau
yaitu:
a. Tinggi protein
Kacang hijau
merupakan sumber alternatif protein nabati. Kacang hijau mengandung protein
sekitar 7 gr/ 100 gr.
b. Tinggi kandungan serat
Kacang hijau
memiliki kandungan serat sekitar 7,6 gr/ 100 gr. Kandungan serat ini mencukupi
kebutuhan serat harian (30 %) dan membantu melancarkan pencernaan serta
mencegah konstipasi.
c. Rendah karbohidrat
Karbohidrat
yang terkandung dalam kacang hijau adalah
19 gr/ 100 gr,
bermanfaat dalam program diet rendah karbohidrat.
d. Banyak mengandung asam lemak esensial
Asam lemak
esensial yang terkandung dalam kacang hijau adalah
omega 3 (0,9 mg/ 100 gr) dan omega 6 (119 mg/ 100 gr).
Omega 3 merupakan asam lemak yang bermanfaat dalam menurunkan kolesterol dalam
darah.
e. Rendah lemak
Kadar lemak
yang rendah dalam kacang hijau bermanfaat dalam program diet rendah lemak.
f. Banyak vitamin
Kacang hijau
banyak mengandung vitamin baik dari jenis maupun
jumlahnya. Asam folat (159 μg/ 100 gr) dan vitamin
B1/thiamin (0,2 mg/ 100 gr) merupakan kandungan tertinggi dalam kacang hijau.
g. Kaya mineral
Kacang hijau
kaya akan mineral, dalam 100 gram kacang hijau
mengandung
beberapa mineral antara lain: potasium (266 mg),
fosfor (99 mg), mangan (48 mg), kalsium (27 mg),
magnesium (0,3 mg), besi (1,4 mg), zinc (0,8 mg), dan selenium (2,5 μg).
h. Kaya enzim dan antioksidan
Kacang hijau
yang sedang dalam masa perkecambahan kaya akan enzim aktif seperti amilase yang
meningkatkan penyerapan dan pembentukan energi. Tauge juga mengandung
fitosterol (15 mg/ 100 mg) yang berfungsi sebagai antioksidan (Kessman, 2006;
Sportindo, 2007).
Kacang hijau,
sebagai golongan kacang-kacangan, mengandung senyawa antigizi, antara lain:
antitripsin, hemaglutinin atau lektin, oligosakarida, dan asam fitat
(Gsianturi, 2003). Kacang hijau juga mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan
dengan kacang-kacangan lainnya, yaitu kandungan antitripsin yang sangat rendah,
paling mudah dicerna, dan paling kecil memberi pengaruh.
2.6
Kekentalan
Menurut Leach
(1965) dalam Goldsworth (1999), yang dimaksud dengan suhu awal gelatinisasi
adalah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Peningkatan
viskositas ini disebabkan karena terjadinya penyerapan air dan pembengkakan
granula pati yang irreversible di dalam air, dimana energi kinetik
molekul-molekul air lebih kuat daripada daya tarik menarik di dalam granula
pati (Winarno, 2008).
Suhu puncak
gelatinisasi dikenal sebagai suhu pada saat tercapainya viskositas maksimum
yaitu suhu ketika granula pati mencapai suspensi pasta pengembangan maksimum
hingga selanjutnya pecah. Pada suhu inilah pati akan mencapai viskositas
maksimum (Baah, 2009). Pada suhu ini granula pati telah kehilangan sifat
birefringence-nya dan granula tidak memiliki kristal lagi. Komponen yang menyebabkan
sifat birefringence adalah amilopektin. Sifat birefringence dari granula pati
adalah sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, apabila granula pati dilihat
di bawah mikroskop terlihat kristal gelap terang (Suarni et al., 2008).
Setelah
mencapai viskositas maksimum, jika proses pemanasan dalam Brabender dilanjutkan
pada suhu yang lebih tinggi granula pati menjadi rapuh, pecah dan
terpotong-potong membentuk polimer, agregat serta viskositasnya menurun akibat
terjadinya leaching amilosa. Penurunan tersebut terjadi pada pemanasan suhu
suspensi 95°C yang dipertahankan selama 10 menit. Nilai penurunan viskositas
yang terjadi dari viskositas maksimum menuju viskositas terendah ketika
suspensi dipanaskan pada suhu 95°C selama 10 menit disebut dengan breakdown
viscosity.
BAB 3. METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Peralatan
yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian Teknologi Penepungan jagung antara
lain:
1. Penggilingan
2. Ayakan 18 mesh
3. Blander
4. Inkubator
3.1.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalap penelitian
antara lain:
1. Jagung
2. Kacang Hijau
3. Air
3.2 Waktu dan
Tempat
Praktikum Teknologi Penepungan Jagung
akan dilakukan di Laboratorium THP FTP UJ. Waktu pelaksaannya sebagai berikut :
No
|
Tanggal
|
Hari
|
Jam
|
Kegiatan
|
1.
|
2 mei 2012
|
Rabu
|
|
Penggilingan
|
2.
|
3 mei 2012
|
kamis
|
|
Praktikum
tepung jagung tradisional (cara kering)
|
3.
|
7 mei 2012
|
Senin
|
|
Perkecambahan
kacang hijau
|
4.
|
11 mei 2012
|
Jum’at
|
|
· Praktikum
tepung jagung modifikasi enzimatis
· Inkubasi 500c
|
5.
|
14 mei 2012
|
Senin
|
|
Pengamatan
karakteristik tepung jagung enzimatis meliputi :
· Rendeman
· Warna
· Viskositas
· Densitas
· Suhu
glatinisasi
· pH
|
3.3 Metode
Proses pembuatan tepung jagung cara kering
Jagung
pipil kering
|
Tepung
jagung siap pakai
Penambahan amilase dari kecambah kacang hijau
Ke-cambah
kacang hijau
|
Pengemasan
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
4.1.1 Warna
KONDISI TEPUNG JAGUNG
|
KC
|
TK
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
RATA-RATA
|
Tanpa Enzim Sebelum Diayak
|
-
|
L
|
43,8
|
43,9
|
44,2
|
44,0
|
43,9
|
43,96
|
A
|
8,5
|
7,4
|
8,0
|
6,7
|
6,4
|
7,4
|
||
B
|
30,4
|
30,5
|
30,9
|
30,1
|
30,8
|
30,54
|
||
Tanpa Enzim Setelah Diayak
|
-
|
L
|
44,1
|
43,8
|
44,6
|
44,8
|
44,7
|
44,4
|
A
|
7,4
|
7,6
|
8,8
|
8,2
|
7,8
|
7,96
|
||
B
|
30,6
|
32,1
|
28,2
|
27,6
|
27,9
|
29,28
|
||
Dengan Enzim Sebelum Diayak
|
10%
|
L
|
40,9
|
40,7
|
46,2
|
40,9
|
41,6
|
42,06
|
A
|
5,8
|
6,3
|
5,1
|
7,0
|
5,0
|
5,84
|
||
B
|
31,7
|
32,2
|
32,0
|
32,4
|
31,9
|
32,04
|
||
20%
|
L
|
40,1
|
40,3
|
39,7
|
40,4
|
40,1
|
40,12
|
|
A
|
6,5
|
5,9
|
6,4
|
6,0
|
6,4
|
6,24
|
||
B
|
31,1
|
30,0
|
31,0
|
30,6
|
30,4
|
30,62
|
||
30%
|
L
|
39,6
|
39,5
|
40,6
|
39,3
|
39,5
|
39,7
|
|
A
|
8,0
|
6,4
|
6,4
|
6,3
|
6,2
|
6,66
|
||
B
|
31,2
|
29,9
|
31,3
|
29,2
|
29,8
|
30,28
|
||
Dengan Enzim Setelah Diayak
|
10%
|
L
|
44,7
|
44,5
|
44,8
|
44,6
|
44,3
|
44,58
|
A
|
3,3
|
3,5
|
3,5
|
4,4
|
2,8
|
3,5
|
||
B
|
29,4
|
29,0
|
29,4
|
28,8
|
29,9
|
29,3
|
||
20%
|
L
|
44,3
|
44,2
|
44,1
|
44,3
|
44,2
|
44,22
|
|
A
|
3,4
|
3,2
|
2,8
|
4,4
|
3,3
|
3,42
|
||
B
|
27,0
|
26,6
|
27,3
|
26,3
|
26,5
|
26,74
|
||
30%
|
L
|
43,7
|
43,7
|
43,7
|
43,6
|
43,5
|
43,64
|
|
A
|
3,7
|
4,8
|
4,6
|
4,0
|
4,3
|
4,28
|
||
B
|
29,4
|
28,9
|
28,6
|
29,1
|
29,2
|
29,04
|
4.1.2 Rendemen
Kondisi
Tepung Jagung
|
KC
|
Berat
Bahan
|
Nilai
Rendemen
(%)
|
|
Awal
Sebelum Diayak (g)
|
Akhir
Setelah Diayak (g)
|
|||
Tanpa
Enzim
|
-
|
250
|
101,57
|
40,63
|
Dengan
Enzim
|
10 %
|
250
|
56,26
|
22,50
|
20 %
|
250
|
60,44
|
24,18
|
|
30 %
|
250
|
62,15
|
24,86
|
4.1.3
Viskositas dan suhu glatinisasi
Kondisi
|
Kadar
|
Suhu
|
Viskositas
(mPa.s)
|
Tepung jagung tanpa Enzim
|
-
|
30oC
|
17
|
40oC
|
16,5
|
||
50oC
|
16
|
||
60oC
|
14,5
|
||
Tepung
jagung dengan Enzim
|
10 %
|
30oC
|
18
|
40oC
|
15,5
|
||
50oC
|
14,5
|
||
60oC
|
12
|
||
20 %
|
30oC
|
15
|
|
40oC
|
15,5
|
||
50oC
|
16
|
||
60oC
|
12
|
||
30 %
|
30oC
|
15
|
|
40oC
|
19,5
|
||
50oC
|
19
|
||
60oC
|
17,5
|
4.1.4
Densitas
KONDISI
TEPUNG JAGUNG
|
KC
|
Massa
Bahan (g)
|
Volume
(ml)
|
Nilai
Densitas
(g/ml)
|
||
Awal
|
Akhir
|
Selisih
|
||||
Tanpa Enzim Sebelum Diayak
|
-
|
10
|
50
|
57
|
7
|
1,43
|
Tanpa Enzim Setelah Diayak
|
-
|
10
|
50
|
58
|
8
|
1,25
|
Dengan Enzim Sebelum Diayak
|
10 %
|
10
|
50
|
54
|
4
|
2,50
|
20 %
|
10
|
50
|
58
|
8
|
1,25
|
|
30 %
|
10
|
50
|
57
|
7
|
1,43
|
|
Dengan Enzim Setelah Diayak
|
10 %
|
10
|
50
|
56
|
6
|
1,67
|
20 %
|
10
|
50
|
57
|
7
|
1,43
|
|
30 %
|
10
|
50
|
57
|
7
|
1,43
|
4.1.5 pH
Kondisi
Tepung Jagung
|
KC
|
Nilai
pH
|
Tanpa
Enzim Setelah Diayak
|
-
|
5,6
|
Dengan
Enzim Setelah Diayak
|
10 %
|
6,4
|
20 %
|
6,3
|
|
30 %
|
6,4
|
BAB
5. PRMBAHASAN
5.1 Warna
Dalam praktikum pembuatan tepung jagung secara
tradisional dan modifikasi enzimatis parameter pengujian yang kelompok kami
lakukan adalah dari segi warna, densitas, rendemen, viskositas, suhu
gelatinisasi, dan pH. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh data
berupa hasil pengamatan. Dari hasil pengamatan tersebut terlihat perbedaan
antara tepung jagung biasa dan yang dimodifikasi secara enzimatis.
Parameter pertama yang
diujikan adalah derajat warna menggunakan color reader. Pengujian dilakukan
pada tepung jagung sebelum dan sesudah diayak, baik yang menggunakan metode
tradisional dan modifikasi enzimatis. Derajat Putih (L) merupakan pengukuran
yang umum dilakukan untuk menentukan kecerahan warna tepung. Pada tepung jagung
secara tradisional setelah dirata-rata diperoleh hasil L= 43,96 sebelum diayak
dan setelah diayak L= 44,4. Dari rata-rata tersebut jelas terlihat bahwa proses
pengayakan mempengaruhi tingkat kecerahan warna tepung jagung, dengan
dilakukannya pengayakan ukuran dan warna tepung menjadi lebih seragam. Hal ini
sesuai dengan literatur yang ada bahwa pengayakan dapat didefinisikan sebagai
suatu metode pemisahan berbagai campuran partikel padat sehingga didapat ukuran
partikel yang seragam (warna,tekstur) serta terbebas dari kontaminan yang
memiliki ukuran yang berbeda dengan menggunakan alat pengayakan (Dewi, 2011).
Pengukuran derajat
warna pada tepung jagung termodifikasi sebelum dan sesudah diayak dilakukan
pada konsentrasi penambahan kecambah kacang hijau sebagai bahan tambahan
modifikasi enzimatis dengan konsentrasi 10%, 20%, 30%. Pada tepung jagung
modifikasi sebelum dilakukan pengayakan derajat warna tepung semakin menurun
seiring penambahan konsentrasi kecambah, hal ini terlihat dari rata-rata hasil
pengamatan secara berturut-turut yaitu L= 42,06; 40,12; 39,7. Hal in juga terjadi pada tepung
modifikasi yang sudah dilakukan pengayakan rata-ratanya secara berturut-turut
yaitu L= 44,58; 44,22; 43,64. Hal ini membuktikan bahwa pada tepung jagung yang
telah dimodifikasi semakin besar penambahan konsentrasi kecambah kacang hijau
yang ditambahkan maka semakin kusam warna tepung tersebut. Proses pengayakan yang dilakukan juga
mempengaruhi tingkat kecerahan warna tepung jagung, hal ini terlihat dari lebih
cerahnya tepung jagung termodifikasi yang diayak dari pada tepung jagung tanpa
proses pengayakan.
Pada proses penepungan
dilakukan metode pemanasan yang berbeda pada kedua jenis tepung jagung yang
digunakan. Pemanasan tepung jagung tradisional menggunakan metode sun drying
dan pemanasan tepung jagung termodifikasi enzimatis dengan pengovenan. Kedua
metode pemanasan yang diterapkan juga menyebabkan perbedaan kecerahan warna
tepung jagung. Pemanasan dengan metode sun drying yang dilakukan cenderung
tidak merata pada bahan, hal ini dikarenakan cuaca tidak menentu sehingga warna
dihasilkan tidak terlalu kusam. Jika dibandingkan pemanasan dengan cara
pengovenan, pemanasan dengan cara ini menghasilkan panas yang lebih merata pada
bahan karena kita dapat mengatur suhu sesuai dengan yang kita inginkan,
sehingga warna tepung yang dihasilkan lebih kusam daripada tepung jagung yang
dipanaskan dengan metode sun drying, hal ini dikarenakan reaksi mailard yang
terjadi pada tepung jagung. Reaksi mailard yang terjadi karena adanya pigmen
yang terdegradasi pada tepung jagung yang disebabkan oleh perlakuan panas.
Secara keseluruhan tingkat kecerahan derajat warna
tepung jagung secara tradisional lebih baik dari pada tepung jagung yang telah
dimodifikasi secara enzimatis. Hal ini terlihat jelas dari hasil pengamatan
selama praktikum berlangsung. Menurut syarat mutu SNI tidak ada kriteria
derajat putih yang yang diharuskan, warna sesuai bahan baku jagung (putih,
kuning) dan secara umum sesuai spesifikasi bahan aslinya. Tetapi umumnya
konsumen lebih menyukai tepung dengan derajat putih (L) yang tinggi.
5.2 Rendemen
Dari data hasil pengamatan yang diperoleh dapat
diketahui nilai rendemen tepung jagung non enzimatis dan tepung jagung
enzimatis dengan berat bahan awal sebelum diayak sebesar 250 gram. Pada tepung
jagung non enzimatis didapatkan nilai rendemen sebesar 40,63 %. Sedangkan pada
tepung jagung enzimatis dengan kadar kecambah 10 %, 20 %, dan 30 % didapatkan
nilai rendemen secara berurut sebesar 22,50 %, 24,18 %, dan 24,86 %.
Data tersebut sesuai dengan literatur, semakin besar
kadar kecambah yang ditambahkan maka semakin besar nilai rendemen yang
dihasilkan. Hal tersebut dipengaruhi oleh penambahan kadar enzim yang dikandung
oleh kecambah kacang hijau yang dapat memecah pati tepung jagung hingga ke
dalam partikel pati sehingga tepung jagung yang dihasilkan lebih halus. Tetapi
jika dibandingkan antara tepung jagung non enzimatis dengan tepung jagung
enzimatis data hasil pengamatan yang diperoleh tidak sesuai literatur karena
nilai rendemen pada tepung jagung non enzimatis lebih besar dibandingkan dengan
nilai rendemen pada tepung jagung enzimatis seharusnya pada tepung jagung
enzimatis memiliki nilai rendemen yang lebih besar daripada tepung non
enzimatis karena pada tepung enzimatis mengandung enzim α-amilase yang dapat
memecah pati tepung jagung hingga ke dalam partikel pati sehingga hasil
pengayakan akan lebih banyak. Penyimpangan tersebut dapat terjadi karena tenaga
yang digunakan berbeda-beda pada saat dilakukan pengayakan pada tepung jagung
non enzimatis dan tepung jagung enzimatis sehingga mempengaruhi banyaknya hasil
pengayakan tersebut.
5.3 Viskositas
dan suhu glatinisasi
Berdasarkan pengamatan suhu
gelatinisasi dengan variasi suhu 30°C, 40°C, 50°C, dan 60°C pada tepung jagung
enzimatis menggunakan tiga variasi kadar kecambah yaitu 10 %, 20 %, dan 30 %
dan tepung jagung nonenzimatis (metode kering atau tradisional) setelah pengayakan
80 mesh memberikan pengaruh terhadap viskositas tepung tersebut. Suhu awal dan
puncak gelatinisasi setiap jenis tepung tersebut berbeda-beda. Menurut
literatur, suhu awal gelatinisasi mengandung arti bahwa tepung akan mulai
tergelatinisasi pada suhu tertentu. Suhu awal dan puncak gelatinisasi yang
berbeda-beda tersebut dikarenakan oleh adanya perbedaan kadungan amilosa yang
terdapat pada setiap jenis tepung jagung tersebut. Jenis tepung jagung yang
memiliki kandungan amilosa tertinggi terdapat pada tepung jagung modifikasi
enzimatis dengan kadar kecambah 30 %, hal itu terbukti dari hasil pengamatan
yang menunjukkan bahwa suhu puncak gelatinisasi tepung tersebut yaitu pada suhu 40°C dengan viskositas paling
tinggi yaitu 19,5 mpa.s, sedangkan pada jenis tepung jagung modifikasi
enzimatis dengan kadar kecambah 10%,20%,dan nonenzimatis secara berurutan suhu
puncak gelatinisasi dan vikositasnya pada saat tercapai suhu puncak tersebut
yaitu 30°C dengan viskositas 18 mpa.s, 50°C dengan viskositas 16 mpa.s, 30°C
dengan viskositas 17 mpa.s. Data tersebut sesuai dengan literature yang
mengatakan bahwa kandungan amilosa pada tepung dapat mempengaruhi suhu
gelatinisasi dan viskositasnya, semakin tinggi kandungan amilosa maka semakin
tinggi pula suhu awal dan puncak gelatinisasinya. Dengan meningkatnya suhu
gelatinisasi, secara otomatis viskositas tepung jagung tersebut akan meningkat
pula.
5.4 Densitas
Densitas diukur dengan menggunakan gelas
ukur. Sampel yang akan diukur, ditimbang sebanyak 10 g. Kemudian dimasukkan ke
dalam gelas ukur 50 mL dan dibaca volumenya. Densitas dihitung sebagai
perbandingan berat sampel dengan volume yang terbaca pada gelas ukur.
Berdasarkan pengamatan yang sudah
dilakukan dapat diketahui bahwa densitas yang ditunjukkan dari perbandingan
antara berat suatu bahan terhadap volume yaitu pada kondisi tepung jagung tanpa
enzim sebelum diayak 1,43 sedangkan setelah dilakukan pengayakan nilai
densitasnya menurun menjadi 1,25. Hal ini sudah sesuai dengan literatur yang
ada bahwa pengayakan yang dilakukan pada tepung jagung mempengaruhi ukuran
partikel tepung jagung, sehingga densitas tepung semakin menurun. Jika kita
bandingkan dengan tepung jagung modifikasi enzimatis berdasarkan hasil
pengamatan dan perhitungan, pada pengukuran densitasnya terjadi penyimpangan,
yaitu hasil perhitungan densitas tepung mengalami fluktuasi nilai densitas
seperti pada tepung jagung modifikasi sebelum diayak konsentrasi 10%, 20%, 30%
yaitu 2,50; 1,25; 1,43. Hal ini juga terjadi pada tepung jagung modifikasi
setelah dilakukan pengayakan yaitu 1,67; 1,43; 1,43. Penyimpangan yang terjadi
diduga karena pada saat praktikan menuangkan bahan ke dalam gelas ukur masih
banyak butiran tepung yang menempel, sehingga pengukuran yang dilakukan tidak
maksimal dan menyebabkan perhitungan densitas bahan tidak maksimal.
Berdasarkan
literatur yang ada menunjukkan bahwa pengaruh modifikasi penepungan jagung
memberikan pengaruh nyata terhadap densitas tepung jagung. Kadar lemak dan pati
yang tinggi pada tepung menyebabkan densitas menjadi meningkat. Hal ini
disebabkan lemak dan pati memiliki berat molekul yang tinggi sehingga akan
menghasilkan densitas yang tinggi (Ade et al., 2009). Jika disesuaikan dengan
literatur yang ada seharusnya penepungan jagung yang telah dimodifikasi
enzimatis densitasnya semakin tinggi seiring dengan penambahan konsentrasi
kecambah yang dilakukan, karena kecambah yang ditambahkan mengandung enzim α
amilase yang dapat meningkatkan kandungan amilosa pada tepung jagung dan
mengakibatkan kenaikan densitas pada tepung.
5.5 pH
Dari
data pengamatan yang diperoleh dapat diketahui nilai pH dari tepung jagung cara
tradisional menggunakan metode kering nilai pH yang diperoleh 5,6 sedangkan
pada tepung jagung modifikasi enzimatis dengan variasi 10%, 20%, dan 30%
berturut – turut yaitu 6,4 ; 6,3 ; dan 6,4. Nilai pH yang diperoleh lebih besar
tepung jagung modifikasi enzimatis, menurut literatur hal tersebut dipengaruhi
oleh jumlah asam organik yang terdapat pada tepung jagung modifikasi enzimatis lebih banyak dibandingkan
jumlah asam organic pada tepung jagung yang dihasilkan dengan metode
tradisional atau metode kering. Akumulasi asam organik ini akan memberikan
keasaman dan mempengaruhi nilai pH tepung.
LAMPIRAN
Perhitungan
Densitas
·
Tanpa Enzim Sebelum Diayak
ρ=m/v
ρ=10/7
1,43 g/ml
·
Tanpa Enzim Setelah Diayak
ρ=m/v
ρ=10/8
1,25 g/ml
·
Dengan Enzim Sebelum Diayak
10% ρ=m/v
ρ=10/4
2,50
g/ml
20% ρ=m/v
ρ=10/8
1,25
g/ml
30% ρ=m/v
ρ=10/7
1,43
g/ml
·
Dengan Enzim Setelah Diayak
10% ρ=m/v
ρ=10/6
1,67
g/ml
20% ρ=m/v
ρ=10/7
1,43
g/ml
30% ρ=m/v
ρ=10/7
1,43
g/ml
Rendemen
·
Tanpa Enzim
(berat akhir)/(berat awal)×100%= 101,57/250×100%
= 40,63
%
·
Dengan Enzim
10%
(berat akhir)/(berat awal)×100%= 56,26/250×100%
= 22,50 %
20%
(berat akhir)/(berat awal)×100%= 60,44/250×100%
= 24,18 %
30%
(berat akhir)/(berat awal)×100%= 62,15/250×100%
= 24,86
%
DAFTAR PUSTAKA
Ade, B. I. O., B. A. Akinwande, I. F. Bolarinwa and
A.O. Adebiyi. 2009.
Evaluation of
tigernut (Cyperus esculentus)-wheat composite flour and
bread. African
Journal of Food Science. (2):087-091.
Asmarajati, T. 1999. Pengaruh Blanching dan
Suplementasi Bekatul Terhadap
Kualitas
Cookies. Skripsi. Fakultas Pertanian UNSOED, Purwokerto.
Astawan M. 2005. Kacang Hijau, Antioksidan yang Membantu Kesuburan
Pria. http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_ntrtnhlth_kacanghijau.php.
(19 Januari
2010).
Baah, D. F. 2009. Characterization of Water Yam (Dioscorea
atalata) for
Existing and
Potensial Food Products. Thesis. Faculty of Biosciences
Kwame Nkrumah
University, Nigeria.
Dubat, A. 2004. The Importance and Impact of Starch
Damage and Evolution of
Measuring
Methods. Sdmatic, New York.
Dewi, F. 2011. Pengayakan. Medan: Teknik Fisika
Universitas Sumatra Utara.
Gsianturi. 2003. Mari, Ramai-ramai Makan Tauge.
http://www.gizi.net/cgibin/berita/fullnews.cgi?newsid1051083094,2
8560,. (1
Februari 2010)
Hutching, J.B. 1999. Food Color and Apearance.
Aspen publisher Inc., Maryland.
Jugenheimer R.W. 1976. Corn: Improvement, Seed
Production, and Uses. John
Wiley and Sons,
New York.
Kessman S. 2006. Mung Bean Sprouts: Nutritional Value and Benefits.
http://www.associatedcontent.com/article/29536/mung_bean_sprouts
_nutritional_value.html.
(27 Februari 2010)
Metirukmi, D. 1992. Peranan kedelai dan hasil olahanya
dalam penanggulangan
masalah gizi
ganda. Makalah disampaikan dalam Seminar Pengembangan
Teknologi
Pangan dan Gizi Menyongsong Pelita VI, Bogor, 19 Desember
1992.
Nirmala. 2008. Fakta di balik mitos gluten.
http://cybermed.cbn.net.id. Diakses
Tanggal 11
Juni 2009.
Purwanto, S. 1995. Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam
Peningkatan
Produksi Jagung. Direktorat Budi Daya Serealia,
Direktorat Jenderal
Tanaman
Pangan, Jakarta.
Plantamor. 2008. Informasi Spesies.
http://www.plantamor.com/index.php?plant=981.
(19 Januari 2010).
Rosmisari, A. 2006. Review: Tepung jagung komposit,
pembuatan
dan
pengolahannya. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif
Pascapanen
Pengembangan Pertanian. BPPPT, Bogor.
Sportindo. 2007. Sehat dengan Kacang Hijau.
http://www.sportindo.com/page/198/Food_Nutrition/Articles_Tips/S
ehat_dengan_Kacang_Hijau.html.
(27 Februari 2010).
Shetty K., Lin Y. T., McCue P., Labbe R. G., Randhir R., Ho C. Y. 2000.
Low Microbial Load Sprouts with Enhanced Antioxidants
for
Astronaut Diet. http:// people.umass.edu/kalidas/ICES%20Shetty.pdf.
27 Februari
2010).
Simanjuntak L. 2007. Tauge yang Menyehatkan.
http://www.vibizlife.com/health_details.php?pg=health&id=157&su
b=health#bmi.
(19 Januari 2010).
Suarni. 2001. Tepung Komposit Sorgum, Jagung, dan
Beras untuk Pembuatan
Kue Basah
(cake). Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain. Balai
Penelitian
Tanaman Jagung dan Serealia, Maros. Vol 6. hlm 55-60.
Tam, L.M., H. Corke, W.T. Tan, J. Li, and L.S.
Collado. 2004. Production of
bihon-type
noodle from maize starch differing in amylosa content. J Cereal Chemistry. 81(4):475-480.
Watson. 2003. Corn: Chemistry and Technology.
American Association of Cereal
Chemists, Inc.
St. Paul Minnesota. USA.
Wikipedia. 2009. Physical properties.
http://id.wikipedia.org/wiki/physical
properties. Diakses
tanggal 1 Desember 2008.
Winamo, F. 6. 1983. Enzym Pangan. Ed. III. PT.
Crmedia. Jakarta. hal. 18-59.
Badan
Standarisasi Nasional. 1993. Standar Nasional Indonesia. SNI 0-3727 -1993.
Tepung Jagung. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT
Gramedia Pustaka, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar