Kamis, 31 Mei 2012

Laporan Telur


 






LAPORAN PRAKTIKUM
PERBEDAAN DAYA SIMPAN TELUR PADA SUHU RUANG
DAN SUHU DINGIN





Dosen Pengampu:
Niken S.TP, M. Sc


Kelompok : 3
Anggota :       1. Anita Ray S.          (111710101001)
2. Fikri Arsyl R.        (111710101025)
3. Fifi Dewi Kadita    (111710101045)
4. Rika Damayanti    (111710101061)





BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Daya simpan telur sangat pendek. Jika dilakukan penyimpanan dalam suhu
ruangan lebih dari dua minggu telur akan mengalami kerusakan yang ditandai dengan kocaknya isi telur, bila pecah isinya tidak menggumpal lagi dan putih telurnya menjadi lebih encer. Hal ini disebabkan masuknya mikroba ke dalam telur melalui pori-pori kulit telur.
Mengingat hal tersebut diatas maka diperlukan perlakuan khusus untuk menyimpan telur dalam jangka waktu yang lama. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melapisi kulit telur dengan paraffin. Usaha ini dapat mempertahankan kesegaran telur hingga 6 bulan. Namun cara pengawetan menggunakan paraffin sangat tidak efisien jika jumlah telur terlalu banyak.

1.2 Tujuan
            Adapun tujuan dari praktukum yang telah dilakukan antara lain :
·         Mengetahui perubahan yang terjadi setelah penyimpanan 48 hari
·         Mengetahui perbedaan pada suhu ruang dan suhu dingn




BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

 2.1 Telur
Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang dikonsumsi selain daging, ikan dan susu. Umumnya telur yang dikonsumsi berasal dari jenis-jenis unggas, seperti ayam, bebek, dan angsa. Telur merupakan bahan makanan yang sangat akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Telur sebagai sumber protein mempunyai banyak keunggulan antara lain, kandungan asam amino paling lengkap dibandingkan bahan makanan lain seperti ikan, daging, ayam, tahu, tempe, dll. Telur mempunyai citarasa yang enak sehingga digemari oleh banyak orang. Telur juga berfungsi dalam aneka ragam pengolahan bahan makanan. Selain itu, telur termasuk bahan makanan sumber protein yang relatif murah dan mudah ditemukan. Hampir semua orang membutuhkan telur (Anonim, 2005).
2.2 Kandungan Gizi Telur Telur
Merupakan salah satu bahan pangan yang paling lengkap gizinya. Selain itu, bahan pangan ini juga bersifat serba guna karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Komposisinya terdiri dari 11% kulit telur, 58% putih telur, dan 31% kuning telur. Kandungan gizi terdiri dari protein 6,3 gram, karbohidrat 0,6 gram, lemak 5 gram, vitamin dan mineral di dalam 50 gram telur.
a.    Protein
Disusun dari asam-asam amino yang terikat satu dengan lainnya. Mutu protein ditentukan oleh asam-asam amino dan jumlah masing-masing asam amino tadi (Sudaryani, 2003). Protein telur merupakan protein yang bermutu tinggi dan mudah dicerna. Dalam telur, protein lebih banyak terdapat pada kuning telur, yaotu sebanyak 16,5%, sedangkan pada putih telur sebanyak 10,9%. Dari sebutir telur yang berbobot sekitar 50 gram, kandungan total proteinnya adalah 6 gram (Anonim, 2005).

b.   Lemak
Kandungan lemak pada telur sekitar 5 gram. Lemak pada telur terdapat pada kuning telur, sekitar 32%, sedangkan lemak yang lain terdapat pada putih telur . Zat gizi ini mudah dicerna oleh manusia. Lemak pada telur terdiri dari trigliserida ( lemak netral), fosfolipida dan kolesterol. Fungsi trigliserida dan fosfolipida umumnya menyediakan energi yang diperlukan untuk aktivitas sehari-hari (Anonim, 2005).

c. Vitamin dan Mineral
Telur mengandung semua vitamin. Selain sebagai sumber vitamin, telur juga merupakan bahan pangan sumber mineral. Beberapa mineral yang terkandung dalam telur di antaranya besi, fosfor, kalsium, tembaga, yodium, magnesium, mangan, potasium, sodium, zink, klorida dan sulfur. (Anonim, 2005).

2.3 Komposisi ketiga komponen pokok telur dalam %
Bahan penyusun
Kulit
Albumin
Kuning telur
Bahan organik
95,1
-
-
Protein
3,3
12,0
17,0
Glukosa
-
0,4
0,2
Lemak
-
0,3
32,2
Garam
-
0,3
0,3
Air
1,6
87,0
48,5
(Direktorat Gizi, DEPKES RI. 1979).

2.4 Bagian-Bagian Telur
  1. Kulit telur dengan permukaan yang agak berbintik-bintik
  2. Membran kulit luar dan dalam yang tipis, berpisah pada ujung yang tumpul dan membentuk ruang udara
  3. Putih telur bagian luar yang tipis dan berupa cairan
  4. Putih telur yang kental dan kokh berbentuk kantung albumen
  5. Putih telur bagian dalam yang tipis dan berupa cairan
  6. Struktur keruh berserat yang terlihat pada kedua ujung kuning telur. Ini dikenal sebagi khalaza dan berfungsi memantapkan posisi kuning telur
  7. Lapisan tipis yang mengelilingi kuning telur, dan disebut membrane fitelin
  8. Benih atau bastodisc yang terlihat sebagai bintik kecil pada permukaan kuning telur. Dalam telur yang terbuahi, benih ini berkembang menjadi anak ayam
  9. Kuning telur yang terbagi menjadi kuning telur berwarna putih berbenatuk vas, bermula dari benih ke pusat kuning telur dan kuning telur yang berlapis yang merupakan bagian terbesar (Anonim, 2005)

2.5 Jenis dan Manfaat Telur
a. Jenis Telur
Banyak jenis telur unggas yang dapat kita jumpai di sekitar kita, secara umum,
ada 5 macam telur unggas yang paling sering dimanfaatkan oleh masyarakat,
yaitu telur ayam kampung, ayam ras, itik / bebek, entok, dan puyuh.
1.  Telur ayam kampung, umumnya berwarna putih atau putih kecokelatan,
dengan berat berkisar antara 25 g – 35 g per butir.
2.  Telur ayam negeri/ras, umumnya berwarna cokelat pastel hingga cokelat
merah, dengan berat berkisar anatara 50 g – 70 g per butir.
3.  Telur itik/bebek, umunya berwarna biru hijau, dengan berat berkisar antara 60
g – 70 g per butir.
4.  Telur entok, umumnya berwarna putih, dengan berat berkisar antara 70 g– 80
g per butir.
5.  Telur puyuh, umumnya berwarna putih bertotol-totol cokelat kehitaman,
dengan berat ± 10 g per butir.
b. Manfaat Telur
Telur dapat dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai macam keperluan,
antara lain adalah sebagai bahan penambah cita rasa (masakan, kerupuk); bahan
pengembang (roti, kerupuk); bahan pengempuk (gorengan); bahan pengental
(sup); bahan perekat/pengikat (masakan perkedel, kue kering); bahan penambah
unsur gizi; bahan atau zat pembentuk emulsi; bahan penstabil suspensi dan bahan
penggumpal (coagulant)  (Sarwono, B, 1985).

2.6 Sifat-Sifat Telur
Protein yang terkandung di dalam telur secara umum sangat mempengaruhi sifat telur. Adapun beberapa sifat telur tersebut adalah sebagai berikut :
a. Sangat peka terhadap pengaruh asam dan pemanasan (terjadi koagulasi dan denaturasi).
b. Bila dikocok akan berbuih dan mengembang, namun bila pengocokan berlebihan maka akan terjadi denaturasi sehingga mengempis kembali.
c. Dalam putih telur mentah dan setengah matang, terkandung beberapa jenis protein, diantaranya adalah lysozyne, yang bila dimakan akan terserap langsung ke dalam darah akan berfungsi sebagai zat anti-gizi (merusak gizi).
d.  Jenis protein lain yang terdapat dalam telur mentah adalah Avidin. Avidin
tersebut bersifat racun, dan akan hilang apabila telur tersebut dimasak (digoreng, direbus, dikukus), (Lai, K, 1999).

2.7 Kwalitas Telur
Kualitas telur ditentukan oleh beberapa hal, antara lain oleh Faktor Keturunan, kualitas makanan, sistem pemeliharaan, iklim, dan umur telur. Unggas yang dihasilkan dari keturunan yang baik, umumnya akan mampu mengahasilkan telur yang berkualitas baik. Makanan yang berkualitas (komposisi bahan tepat, baik dari jumlah maupun kandungan nutrisinya) akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan kesehatan unggas. Sehingga dengan demikian, unggas tersebut akan mampu memberikan atau menghasilkan telur yang berkualitas pula.
Umur telur yang dimaksud di sini adalah umur telur setelah dikeluarkan oleh unggas. Secara umum, telur memiliki masa simpan 2-3 minggu. Telur yang disimpan melebihi jangka waktu penyimpanan segar tersebut tanpa mendapatkan penanganan pengawetan, akan mengalami penurunan kualitas yang menuju kearah pembusukan. Kualitas telur secara keseluruhan ditentukan oleh kualitas isi telur dan kualitas kulit telur. Kualitas isi telur dapat dikategorikan baik jika tidak terdapat bercak darah atau bercak lainnya, belum pernah dierami yang ditandai dengan tidak adanya bercak calon embrio, kondisi putih telurnya kental dan tebal, serta kuning telurnya tidak pucat. Untuk menentukan kualitas isi telur dapat dilakukan dengan peneropongan cahaya atau alat teropong khusus (Brannon, L. 1997).

2.8. Penyimpanan Telur
Penyimpanan telur memegang peranan penting dalam menjaga kualitas telur. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan telur adalah lama dan suhu penyimpanan, serta bau yang terdapat di sekitar tempat penyimpanan. Telur akan mengalami perubahan kualitas seiring dengan lamanya penyimpanan. Semakin lama waktu penyimpanan akan mengakibatkan terjadinya banyak penguapan cairan di dalam telur dan menyebabkan kantung udara semakin besar. Suhu optimum penyimpanan telur antara 12-15º C dan kelembapan 70-80%. Di bawah atau di atas suhu tersebut akan berpengaruh kurang baik terhadap kualitas telur. Dalam penyimpanan telur skala besar perlu diperhatikan benda-benda lain yang terdapat dalam ruang penyimpanan. Bau yang menyengat dari benda-benda tersebut akan ikut terbawa telur yang disimpan di dekatnya. Sebaiknya ruang penyimpanan dibersihkan dari benda-benda lain, terutama benda-benda yang berbau tajam (Anonim, 1975).


2.9 Pengamatan Candling Telur
Candling merupakan cara yang biasa dilakukan oleh peternakan dan konsumen untuk mengetahui kualitas isi telur. Pada prinsipnya peneropongan merupakan pemeriksaan telur dengan cahaya. Peternakan-peternakan biasanya menggunakan alat teropong khusus, sedangkan secara sederhana dapat menggunakan baterai dengan gulungan karton atau kertas tebal lainnya. Peneropongan biasanya dilakukan di tempat gelap agar bayangan telur tampak jelas. Retak halus dapat diketahui melalui peneropongan telur. Tujuannya adalah untuk menghindari agar tidak tertipu membeli telur yang jelek di pasaran (Sudaryani, 1996).


BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
·         Lemari pendingin
·         Senter
·         Kamera
3.1.2 Bahan
·         Telur


BAB 4. HASIL PENGAMATAN

Pengamatan
Suhu Ruang
Suhu Dingin
0 Hari
45 Hari
0 Hari
45 Hari
Aroma
Tidak
menyengat
Tidak
Tidak
Kuning telur
-
Bercampur
-
Tidak bercampur
Ketebalan cangkang
Tebal
tipis
Tebal
Tebal
Rongga Udara
Kecil
Tidak ada
Kecil
Besar
Warna kulit
Cerah
Kusam/keruh
Cerah
Sedikit pucat

BAB 5. PEMBAHASAN

Pada praktikum pengujian telur dengan menggunakan metode candling pada suhu ruang dan suhu dingin digunakan dua variable pengujian yaitu selama 0 hari dan 45 hari. Pengamatan yang dilakukan oleh kelompok kami antara lain dari aroma, bercampurnya kuning telur, ketebalan cangkang, rongga udara, dan warna kulit.
Pengamatan telur yang diletakkan dalam suhu ruang didapatkan data pengamatan pada waktu 0 hari aroma yang terasa masih segar, tidak tercium aroma apa-apa. Setelah dilakukan metode candling tidak nampak terlihat kuning telur bercampur atau tidak, hal ini dikarenakan pencahayaan pada saat candling yang kurang maksimal, sehingga kenampakannya sulit terlihat juga. Ketebalan cangkang masih bagus, rongga udara pada saat dicandling terlihat kecil dan menyebar di seluruh bagian permukaan dinding telur, warna telur masih terlihat cerah. Setelah dilakukan penyimpanan dalam suhu ruang selama 45 hari nampak perubahan terjadi pada telur. Dari segi aroma yang menyengat (busuk), kuning telur setelah dilakukan metode candling terlihat bercampur. Ketebalan cangkang terlihat semakin tipis, rongga udara semakin tidak terlihat dan warna kulit nampak kusam.
Pengamatan telur yang diletakkan dalam suhu dingin diperoleh hasil pengamatan pada waktu 0 hari yaitu aroma tidak terasa apa-apa. Setelah dilakukan metode candling tidak nampak terlihat kuning telur tercampur atau tidak, hal ini dikarenakan pencahayaan pada saat candling yang kurang maksimal, sehingga kenampakannya sulit terlihat juga. Ketebalan cangkang masih bagus, rongga udara pada saat di candling terlihat kecil dan menyebar di seluruh bagian permukaan dinding telur, warna telur masih terlihat cerah. Setelah dilakukan penyimpanan selama 45 hari dalam lemari es nampak terjadi perubahan pada telur. Dari segi aroma tidak terasa apa-apa. Setelah dilakukan metode candling nampak terlihat kuning telur tidak bercampur, rongga udara membesar. Ketebalan cangkang masih tetap sama, warna kulit nampak sedikit pucat.
Jika kita bandingkan dari data pengamatan pada suhu ruang dengan suhu dingin terlihat jelas bahwa pada suhu dingin telur lebih awet dan kerusakan pada telur lebih kecil. Hal ini terlihat baik dari segala aspek pengamatan yang digunakan. Telur yang disimpan di dalam lemari es, dengan waktu simpan selama 45 hari masih terlihat cukup bagus jika dibandingkan dengan yang hanya disimpan dalam suhu ruang. Hal ini sesuai dengan literatur yang ada bahwa suhu dingin dapat memperlambat aktivitas mikroba pembusuk yang tumbuh sehingga proses pembusukan pada bahan dapat dihambat.
Pada telur yang disimpan di dalam lemari es, sebelum dilakukan penyimpanan dilakukan proses “cleaning” terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi mikroba yang tumbuh pada telur. Proses pembersihan inilah yang membantu telur dapat tetap terjaga kualitasnya selain penyimpanan dalam lemari es.
            Berdasarkan data pengamatan pada suhu ruang maupun suhu dingin dengan waktu penyimpanan selama 45 hari, terlihat perbedaan yaitu pada suhu ruang kuning telur sudah bercampur dengan albumen (putih telur) sedangkan pada suhu dingin hal itu tidak terjadi. Berdasarkan literatur yang ada bahwa suhu penyimpanan mempengaruhi indeks putih telur (IP). Perubahan IP dipengaruhi oleh suhu penyimpanan, penyimpanan telur pada suhu rendah mempunyai penurunan nilai IP yang lebih lambat dibandingkan penyimpanan pada suhu tinggi. Pengaruh suhu ruang yang lebih tinggi inilah yang membuat indeks putih telur mengalami penurunan, sehingga proses bercampurnya kuning telur dan putih telur lebih cepat terjadi (Wooton, 1978).
             Dari data pengamatan juga terlihat rongga udara yang semakin membesar pada penyimpanan dingin dalam waktu 45 hari terjadi  karena semakin lama waktu penyimpanan akan mengakibatkan terjadinya banyak penguapan cairan di dalam telur dan menyebabkan kantung udara semakin besar. Suhu optimum penyimpanan telur antara 12-15º C dan kelembapan 70-80%. Di bawah atau di atas suhu tersebut akan berpengaruh kurang baik terhadap kualitas telur (Anonim, 1975). Sedangkan pada penyimpanan suhu ruang selama 45 hari rongga udara yang semakin mengecil hingga tidak terlihat dikarenakan pembusukan pada telur, sehingga terbentuk partikel-partikel gas yang menutupi pori-pori.
Pada data pengamatan terlihat tidak nampaknya kuning telur pada saat dilakukan metode candling pada penyimpanan dalam ruang maupun suhu dingin selama 0 hari dikarenakan kurangnya pencahayaan pada saat dilakukan penyinaran. Juga kurang gelapnya ruangan yang digunakan sebagai tempat dilakukannya metode candling, sehingga cahaya yang terfokus ke dinding telur kurang merata dan menyebabkan pengamatan yang kurang maksimal. Menurut Sudaryani (1996), secara sederhana metode candling dapat menggunakan lampu senter dengan gulungan karton atau kertas tebal lainnya. Peneropongan biasanya dilakukan di tempat gelap agar bayangan telur tampak jelas. Retak halus dapat diketahui melalui peneropongan telur. Tujuannya dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk menghindari agar tidak tertipu membeli telur yang jelek di pasaran.


BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
            Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Candling merupakan cara yang biasa dilakukan oleh peternakan dan konsumen untuk mengetahui kualitas isi telur.
2. Kualitas telur yang berada disuhu dingin lebih tahan lama terhadap kebusukan daripada telur yang berada di suhu ruang. Hal ini disebabkan karena aktivitas mikroba lebih kecil (inaktivasi) pada suhu dingin, sedangkan aktivitas mikroba di suhu ruang lebih tinggi.
3.  Proses pembersihan membantu telur dapat tetap terjaga kualitasnya selain penyimpanan dalam lemari es.
4. Perubahan IP (Indeks Protein) dipengaruhi oleh suhu penyimpanan, penyimpanan telur pada suhu rendah mempunyai penurunan nilai IP yang lebih lambat dibandingkan penyimpanan pada suhu tinggi.
5. Pengaruh suhu ruang yang lebih tinggi membuat indeks putih telur mengalami penurunan, sehingga proses bercampurnya kuning telur dan putih telur lebih cepat terjadi.
6.  Semakin lama waktu penyimpanan akan mengakibatkan terjadinya banyak penguapan cairan di dalam telur dan menyebabkan kantung udara semakin besar.
7.  Suhu optimum penyimpanan telur antara 12-15º C dan kelembapan 70-80%. Di bawah atau di atas suhu tersebut akan berpengaruh kurang baik terhadap kualitas telur.
8.  Pembusukan pada telur, dapat membentuk partikel-partikel gas yang dapat menutupi pori-pori, sehingga rongga udara nampak semakin mengecil.
9.  Secara sederhana metode candling dapat menggunakan lampu senter dengan gulungan karton atau kertas tebal lainnya. Peneropongan biasanya dilakukan di tempat gelap agar bayangan telur tampak jelas. Retak halus dapat diketahui melalui peneropongan telur.
10. Tujuan dari metode candling dalam kehidupan sehari-hari yang biasanya dilakukan oleh pedagang adalah untuk menghindari agar tidak tertipu membeli telur yang jelek di pasaran.

6.2 Saran
·         Dalam melakukan pengamatan dengan metode candling diusahakan dilakukan di tempat yang gelap agar metode ini dapat berjalan dengan maksimal.
·         Untuk menghindari pecahnya telur sebelum dilakukan pengamatan maka dalam penyimpanannya telur ditaruh di dalam wadah yang dapat menjaga keamanan telur baik dari goncangan maupun udara menyengat yang mampu membuat kualitas telur berubah.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 1975. Pengawetan telur. Dalam : Berkas lembaran petunjuk latihan teknologi makanan. Yogyakarta : Pendidikan Guru Pertanian PGP. Kejuruan Teknologi Makanan, Hal. 59-60.
Anonim. 2005. Telur. Dalam : Paket industri pangan. Bogor : Pusbangtepa-IPB, s.a. Hal. 4
Brannon, L. 1997. Water diffusion and absorption in amorphous macromolecular systems and foods. Journal of Food Engeneering
Direktorat Gizi, DEPKES RI. 1979. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Lai, K. M., S. P. Chi, & W. C. Ko. 1999. Changes in yolk of duck egg during long term brining. J. Agric. Of Food Chem. 47:733-736.
Sarwono, B; A. Murtidjo dan A. Daryanto. 1985. Telur : Pengawetan dan
manfaatnya. Jakarta : Penebar Swadaya, 73 hal.
Sudaryani, T. 1996. Kualitas Telur. Jakarta: Penebar Swadaya.
Wotton, M. 1978. Eggs and Products.p. 182-192. dalam: K.A. Bucle, RA.Edwards, G.H. Fleet and M. Wotton A Course Manual in FoodScience. Printed and Bound By Walson Fergion Co. Brisbane.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar